Di saat perekonomian global belum pulih dari hantaman pandemi Covid-19, tantangan baru muncul setelah Rusia menginvasi Ukraina. Dampak perang Rusia dan Ukraina diperkirakan akan terasa sampai ke Indonesia. Di pasar keuangan, para pemilik modal menarik diri dari bursa saham. Secara serentak, pada Kamis kemarin (24/2), perdagangan di berbagai belahan dunia anjlok. Peningkatan ketegangan diprediksi akan memicu kenaikan harga energi dan berbagai komoditas serta nilai tukar dolar AS, yang kemudian berdampak pada peningkatan inflasi.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, menyatakan reaksi negatif di pasar keuangan disebabkan Rusia merupakan salah satu pengekspor energi, produk pertanian, dan logam terbesar di dunia. Salah satu harga komoditas yang terkerek naik adalah minyak mentah. Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, menyatakan kenaikan harga minyak mentah akan meningkatkan inflasi di dalam negeri. Efek jangka panjangnya adalah peningkatan biaya logistik yang berujung pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Untuk memastikan target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tercapai, pemerintah dinilai perlu memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok. Anggaran subsidi energi pun diperkirakan akanl membengkak. Sebab, asumsi harga minyak mentah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 hanya US$ 63 per barel.
Dari sisi perdagangan, peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap, menyatakan konflik ini memiliki konsekuensi buat Indonesia. Melansir data Bank Indonesia, ekspor Indonesia ke Rusia tidak sampai 1 persen dari total ekspor. Namun Indonesia berpotensi kehilangan permintaan pasar dari Eropa. Tindakan Rusia membuat ancaman terhadap pemulihan perekonomian global berlipat ganda. Konflik terjadi bersamaan dengan rencana bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, menaikkan suku bunga.