Simalakama PLN saat Kembangkan Energi Baru Terbarukan

Proyek besar transisi energi menghadapi sejumlah tantangan dalam realisasinya. Selain memerlukan investasi ribuan triliun, PT PLN (Persero) juga masih harus berhadapan dengan mahalnya ongkos energi terbarukan.
Dalam rangka mewujudkan capaian netral karbon (net zero emission) pada 2060, pemerintah telah menetapkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Dalam rencana tersebut, pemerintah membidik pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 20,9 gigawatt (GW), atau 51,6 persen dari total pembangkit yang direncanakan mencapai 40,5 GW. Sisanya adalah pengembangan pembangkit fosil dengan porsi 48,4 persen.
Namun demikian, perusahaan listrik negara masih menghadapi dilema tingginya harga komponen dari pembangkit. Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi menyebutkan bahwa perusahaan harus berjibaku dengan tantangan harga pembangkit bersih yang masih belum ekonomis. Penggantian PLTU ke PLTS tidak bisa dilakukan secara langsung jika tidak ada battery energy storage system (BESS). Teknologi tersebut diperlukan untuk menampung daya yang terserap dari pembangkit listrik sekaligus mengaliri listrik saat sinar matahari terhalang atau malam hari. Sayangnya Pembangkit listrik intermitensi renewable energy yang dilengkapi dengan BESS ini masih sangat mahal. Kajian PLN menemukan bahwa biaya PLTS ditambah dengan BESS masih terbilang tinggi untuk dijual ke masyarakat.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut jika kunci untuk menurunkan harga PLTS adalah dengan menerapkan lelang (auction) yang dilakukan skala besar. Ini bisa mempercepat penurunan harga PLTS dan mempercepat juga transisi energi di Indonesia

Search