Myanmar akan menggelar fase pertama pemilihan umum pada Minggu (28/12), yang merupakan pemungutan suara pertama di negara tersebut dalam lima tahun terakhir. Meski junta militer menyebut ini sebagai langkah kembali menuju demokrasi multipartai, para kritikus menilai pemilu ini tidak akan memulihkan demokrasi yang hancur atau mengakhiri perang saudara yang kian mematikan. Militer Myanmar berupaya menggunakan pemilu ini untuk mendapatkan legitimasi internasional. Namun, kondisi di lapangan sangat kontras; konflik bersenjata yang meluas membuat pemungutan suara mustahil dilakukan di banyak wilayah Myanmar. Tercatat ada 65 kota kecil yang sama sekali tidak akan menggelar pemungutan suara karena konflik aktif dengan kelompok gerilya etnis dan pasukan perlawanan.
Analis dari International Crisis Group, Richard Horsey, menegaskan bahwa pemilu ini tidak memiliki kredibilitas. “Pemilu ini tidak melibatkan partai politik mana pun yang menang besar pada pemilu sebelumnya,” ujar Horsey kepada The Associated Press. Strategi militer dinilai sangat jelas: memenangkan partai pendukung militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), secara telak guna memberikan “wajah sipil” pada kekuasaan militer. Hal ini diprediksi akan menjadi dalih bagi negara tetangga seperti China, India, dan Thailand untuk terus memberikan dukungan dengan alasan stabilitas.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa warga sipil kini berada dalam posisi terjepit; diancam oleh otoritas militer jika tidak berpartisipasi, namun juga mendapat ancaman dari kelompok oposisi bersenjata jika ikut memilih. Amnesty International melalui penelitinya, Joe Freeman, memperingatkan bahwa pemilu ini kemungkinan besar hanya akan mengukuhkan kekuasaan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal dan penindasan selama bertahun-tahun di Myanmar.
