Dalam jajak pendapat Kompas pada 10-13 November 2025, publik merasa tidak kaget dengan adanya kabar kepala daerah ditangkap karena kasus korupsi. Tingginya kasus yang sejalan dengan rendahnya keyakinan publik bahwa pemimpin daerahnya tidak korupsi menunjukkan bahwa praktik tidak terpuji ini telah mengakar dalam dinamika politik daerah. Para Kepala daerah yang baru dilantik pada Februari 2025, namun sejumlah kepala daerah sudah ditangkap sejak Agustus 2025 akibat korupsi. Artinya, praktik rasuah itu sudah dilakukan kurang dari enam bulan setelah mereka menjabat. Apabila korupsi telah dilakukan bahkan sejak awal masa kepemimpinan, dapat dibaca bahwa kepala daerah memiliki ”kebutuhan” yang begitu mendesak. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengungkapkan, fenomena korupsi di daerah berkaitan dengan tingginya biaya politik dalam pilkada. Tingginya biaya politik membuat praktik transaksional langgeng terjadi di daerah.
Publik juga mengamati adanya problem struktural. Sekitar 22,4 persen memandang penyebab korupsi di daerah karena penegakan hukum yang pilih-pilih. Terdapat pula 20,4 persen responden yang menilai lemahnya pengawasan menjadi akar persoalan. Namun, harapan untuk memutus rantai tersebut malah datang dari publik sendiri. Tak kurang dari 63,3 persen responden menyatakan tidak akan memilih sosok pemimpin yang pernah terjerat kasus korupsi sekalipun kandidat tersebut memiliki citra baik.
Apabila sikap ini terus menguat, praktik pencitraan dan politik uang yang dilakukan oleh kepala daerah semestinya dapat diputus. Apalagi, publik juga tidak menormalisasi praktik korupsi sekalipun pemimpin daerah yang melakukannya berhasil membangun infrastruktur saat menjabat.
