Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, wacana reformasi kepolisian ini perlu ditanggapi dengan kehati-hatian para pembuat undang-undang dalam membahas RUU Polri. Jika hasil dari Komite Reformasi Polri akan berdampak pada substansi RUU Polri, Usman mengingatkan DPR untuk tetap menerapkan partisipasi bermakna atau meaningful participation. Prinsip ini dimaksimalkan dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Apalagi, draf RUU yang dimuat sebelumnya cenderung memperluas kewenangan Polri. Salah satunya, Usman menyinggung kewenangan Polri dalam melakukan pengawasan ruang siber.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana juga menyoroti RUU Polri yang dulu sempat menimbulkan polemik pada pertengahan 2024. Masyarakat sipil pada saat itu mendesak DPR untuk menunda pembahasan karena dianggap tidak menghadirkan partisipasi bermakna. Senada dengan Usman, Arif mengingatkan kembali draf dari RUU Polri sebelumnya yang berujung pada perluasan wewenang.
Usman Hamid juga mengingatkan penguatan pengawasan dalam RUU Polri. Tidak hanya pengawasan internal, tetapi juga pengawasan eksekutif dan legislatif. Selain itu, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga perlu diperkuat agar publik bisa mengawasi lewat badan tersebut. DPR juga berperan penting dalam mengawasi reformasi kepolisian. Meskipun kepolisian masuk dalam ranah eksekutif, DPR harus tetap menjalankan peran sebagai lembaga legislatif agar tidak terjadi penyimpangan.