Peringatan keras kembali menggema dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jalur kehidupan terakhir bagi jutaan warga sipil di Gaza resmi runtuh seiring serangan militer Israel yang semakin menggila. Situasi ini membuat badan-badan kemanusiaan berteriak, warga Gaza tengah terperangkap di neraka tanpa jalan keluar. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa hanya dalam lima hari, 11 lokasi UNRWA yang menjadi tempat berlindung 11.000 orang hancur diterjang serangan langsung maupun tidak langsung. Kota Gaza pun makin luluh lantak.
Sejak runtuhnya gencatan senjata pada Maret lalu, lebih dari satu juta orang di Jalur Gaza terpaksa meninggalkan rumahnya. Di tengah gelombang pengungsian, anak-anak menjadi korban paling rapuh. Tim UNICEF menemukan puluhan ribu bayi dan balita kekurangan gizi. Untuk menyelamatkan mereka, UNICEF telah menyalurkan 200.000 paket makanan bayi kaya nutrisi dan 10.000 kotak biskuit energi tinggi untuk ibu hamil dan menyusui. Namun, bantuan itu hanya setetes di tengah samudra kebutuhan.
Kelaparan sudah mengakar, malnutrisi merebak, dan ribuan keluarga hidup dengan sisa-sisa makanan seadanya. Ironisnya, di tengah tragedi ini, akses bantuan justru semakin dipersulit. Sejumlah bahan makanan bahkan dilarang masuk hanya karena dianggap “barang mewah.” Di luar blokade fisik, perang informasi pun berkecamuk. Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menegaskan Gaza telah berubah menjadi medan perang informasi yang sengit. Sementara itu, dunia dipenuhi narasi yang membantah kelaparan bahkan mengaburkan genosida yang sedang berlangsung.
