Sekolah Rakyat Dimulai, Pro Kontra Dituai

Sekolah Rakyat (SR) resmi mulai berjalan di 63 titik di Indonesia pada Senin, 14 Juli 2025, yang ditandai dengan pembukaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 10 Kabupaten Bogor, STIS Cibinong. Tercatat ada 256 rombongan belajar dengan total 6.130 siswa yang tersebar di jenjang SD, SMP, dan SMA. Menteri Sosial Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul meminta kepala sekolah dan guru-guru merangkul siswa dari berbagai latar belakang serta mengantisipasi perundungan, pelecehan seksual, dan intoleransi. MPLS direncanakan berlangsung hingga tiga bulan untuk membantu konsolidasi siswa yang diterima tanpa tes akademik. Program ini berdasar Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 49/HUK/2025, dengan target 200 SR, 100 di antaranya dibangun melalui APBN. Anggaran pendidikan tahun 2025 pun dialokasikan sebesar Rp724,3 triliun untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan.

Meski begitu, program SR menuai kritik dari sejumlah pakar dan pemantau pendidikan. Itje Chodidjah dari Indonesia National Commission for UNESCO menilai SR berpotensi menimbulkan stigma dan diskriminasi baru karena memisahkan anak-anak dari keluarga miskin dalam satu komunitas khusus. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, bahkan menyamakan konsep ini dengan sistem pendidikan masa kolonial yang mengkotak-kotakkan masyarakat, serta memperingatkan bahwa kualitasnya bisa jauh tertinggal jika dikelola secara terpisah. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, juga meminta pemerintah menyiapkan mekanisme dan kajian yang matang agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Berbagai persoalan lama, seperti kualitas pendidikan yang timpang antarwilayah dan kesejahteraan guru yang rendah terutama di Papua, turut menjadi sorotan. Hal-hal ini menunjukkan bahwa selain membangun sekolah baru, pemerintah perlu memperkuat kualitas pendidikan yang sudah ada dan memastikan pemerataan
kesejahteraan guru di seluruh Indonesia.

Search