Amerika Serikat tetap memberlakukan tarif impor 32 persen terhadap produk Indonesia meski pemerintah telah menawarkan kerja sama perdagangan senilai US$34 miliar. Bahkan, muncul ancaman tambahan tarif 10 persen akibat bergabungnya Indonesia ke kelompok BRICS, yang dinilai Presiden Trump sebagai aliansi anti-AS. Sejumlah ekonom menilai kegagalan ini menunjukkan lemahnya strategi negosiasi Indonesia, terutama karena negara-negara lain seperti Thailand dan Kamboja berhasil menurunkan tarif mereka secara signifikan.
Ekonom Bhima Yudhistira dan Achmad Nur Hidayat mengkritik pendekatan diplomasi Indonesia yang dianggap terlalu formal dan tidak strategis. Mereka menilai tarif tinggi akan memukul industri padat karya seperti tekstil, furnitur, dan produk pertanian. Sementara itu, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani berharap jalur diplomasi masih terbuka, mengingat tarif baru akan berlaku mulai 1 Agustus 2025. Ia menilai dinamika negosiasi belum selesai dan masih ada peluang untuk mencapai kesepakatan yang lebih menguntungkan.