Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa pemilu serentak telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam praktik politik uang. Efek uang terhadap pilihan pemilih, terutama dalam pileg, juga semakin kuat. Hal ini membuat “harga pemilih” semakin mahal. Burhanuddin sekarang sudah lebih banyak yang mengatakan politik uang itu wajar, dengan angka 54,5 persen dibandingkan 44,5 persen. Tren ini menunjukkan peningkatan toleransi terhadap politik uang sejak pemilu serentak diterapkan pada 2019.
Dalam analisisnya, Burhanuddin mencatat bahwa semakin sedikit pemilih yang menganggap boleh menerima uang dari kandidat tertentu sambil tetap memilih kandidat yang diinginkan. Artinya, uang semakin penting. Burhanuddin mengemukakan tiga hipotesis yang menjelaskan fenomena ini. Burhanuddin mengemukakan tiga hipotesis yang menjelaskan fenomena ini.
Pertama, pemilu serentak meningkatkan potensi terjadinya vote buying karena jumlah kandidat yang bertarung semakin banyak. Kedua, pemilu serentak menyebabkan peningkatan ketidakpastian elektoral, yang mirip dengan dilema tahanan (prisoners dillema). Ketiga, ia menyoroti minimnya pengawasan dan penegakan hukum terkait politik uang. Burhanuddin mendapatkan informasi bahwa tindak pidana yang paling tidak ditangani serius oleh polisi adalah tindak pidana pemilu. Burhanuddin menjelaskan, karena pemilu serentak lebih berfokus ke pilpres, pilegnya tidak dimonitor, sehingga membuat pilkada serentak seperti ada di pertarungan bebas.