Sebanyak 12 warga negara Indonesia yang diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) saat ini masih tertahan di kantor yang berada di wilayah konflik Myawaddy, Myanmar. RD, ayah salah satu korban mengungkap bahwa anaknya bekerja selama lebih dari 12 jam (jam 4 sore-9 pagi) setiap harinya, tidak mendapatkan upah dan terkadang mendapatkan sanksi fisik seperti angkat galon selama 1 jam apabila tidak memenuhi target pekerjaan.
RD mengungkap awal kronologi yang akhirnya membawa sang anak ke Myanmar. Mulanya sang anak mencari pekerjaan melalui media sosial Facebook dan dijanjikan posisi administrasi di sebuah restauran. Sejak malam tanggal 14 Agustus itu hingga sepekan kemudian, dia tidak mendapat kabar dari sang anak karena HP-nya mati dan baru dapat komunikasi kembali sekitar 25 atau 27 Agustus dengan menggunakan HP yang mereka rahasiakan dari perusahaan.
“Kondisi mereka tidak baik-baik saja dan membutuhkan pertolongan. Minta dihubungi KBRI,” ucapnya. RD juga menghubungi KBRI Yangon di Myanmar dan mendapat penjelasan bahwa daerah yang dimaksud adalah kawasan konflik kekuasaan pemberontak serta tidak semudah menjemput di negara lain. RD menambahkan bahwa sejauh ini dirinya telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam upaya pembebasan anaknya bersama WNI lain yang ditahan di Myanmar.