Berantas Impor Tekstil Ilegal

Pailitnya Grup Sritex ibarat fenomena gunung es. Betapa tidak, selain Sritex, tercatat 30 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) skala menengah bangkrut selama 2023-2024, dengan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 150 ribu orang. Jika ditambah dengan perusahaan TPT skala industri kecil dan menengah (IKM), total perusahaan yang tutup bisa mencapai 100 lebih. Tak ayal lagi, sektor TPT harus segera diselamatkan, dengan memberantas impor ilegal yang selama ini menjadi biang keladi keterpurukan industri TPT. Banjir impor ilegal membuat sektor TPT saat ini mengalami krisis yang sedemikian parah, bahkan lebih parah dibanding saat pandemi Covid-19 atau awal 2000-an. Saat ini, sektor TPT benar-benar terpuruk, dengan utilisasi berkisar 40-50%, baik di subsektor hulu, antara, dan hilir. Impor ilegal juga diduga menjadi salah satu pemicu krisis Sritex.

Salah satu cara memberantas TPT ilegal membentuk satuan tugas (satgas) pengendalian impor yang dipimpin langsung oleh Presiden. Dengan dukungan Presiden, posisi satgas ini sangat kuat dan bisa menindak siapa saja yang melindungi impor TPT ilegal. Adapun jika satgas hanya dibentuk oleh lembaga sekelas menteri, efektivitasnya diragukan, karena harus berhadapan dengan para pejabat yang diduga mem-backing importir TPT illegal. Pelaku industri TPT percaya, jika impor ilegal diberangus, sektor TPT bisa tumbuh, minimal 8% tahun depan. Sebaliknya, jika impor TPT ilegal dibiarkan merajalela, sektor ini dipercaya akan terus kontraksi dan melanjutkan PHK massal. Penyelamatan sektor TPT dinilai merupakan titik awal pembenahan sektor manufaktur. Ini penting demi memacu pertumbuhan ekonimi nasional. Tanpa sektor manufaktur yang kuat, pertumbuhan ekonomi nasional akan sulit digeber hingga 8% per tahun, seperti yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto. Alih-alih, pertumbuhan ekonomi malah bisa jebol di bawah 5%, karena banyak masyarakat kena PHK, sehingga daya beli terpuruk.

Search