Tarif Cukai Tidak Jadi Naik, Produsen Rokok Tetap Waspadai Berbagai Tantangan

Para produsen rokok bereaksi atas keputusan pemerintah yang tidak jadi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 mendatang. Keputusan tersebut dianggap menjadi angin segar bagi industri rokok yang terus-menerus tertekan.

Dalam berita sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyatakan, sampai dengan penutupan pembahasan Rancangan APBN 2025 pekan lalu, kebijakan penyesuaian CHT tahun 2025 belum akan dilaksanakan.

Salah satu pertimbangan pemerintah adalah munculnya fenomena down trading rokok sebagai ibas dari kenaikan cukai rokok tahun 2023 dan 2024 dengan nilai rata-rata 10%. Fenomena ini ditandai oleh para konsumen yang beralih mengkonsumsi produk rokok dengan harga lebih murah.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Nayoan mengaku, pihaknya pernah berkirim surat kepada Menteri Keuangan pada 19 Agustus 2024 untuk menjelaskan situasi industri rokok nasional.

Dalam surat tersebut, Gappri meminta agar tarif CHT tahun 2025, 2026, dan 2027 tidak naik. Tujuannya untuk memberi kesempatan agar industri rokok legal untuk pulih. Selain itu, Gappri meminta pemerintah tidak melakukan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau dan mendekatkan disparitas harga antar golongan rokok.

“Kami juga meminta pemerintah terus melakukan operasi gempur rokok ilegal,” kata dia, Selasa (24/9).

Gappri menilai, industri hasil tembakau (IHT) nasional sedang tidak baik-baik saja dengan indikasi yang jelas. Dalam hal ini, terjadi fenomena down trading atau penyusutan konsumsi rokok Golongan I. Rokok Golongan II pun ikut mengalami penyusutan lantaran para konsumen berpindah ke rokok yang lebih murah lagi, termasuk rokok ilegal.

Peredaran rokok ilegal pun terus menggerus pangsa pasar rokok legal. Hal ini tercermin dari penerimaan CHT tahun 2023 yang tidak mencapai target. “Prediksi kami target CHT tahun 2024 pun tidak akan tercapai,” jelas dia.

fakta demikian menandakan bahwa harga rokok legal di Indonesia sudah tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen karena daya beli mereka sangat lemah seiring tingginya kenaikan tarif CHT periode 2020-2024.

Alhasil, Gappri bersyukur pemerintah tidak jadi mengerek tarif CHT pada 2025, sehingga keputusan ini akan membantu kelangsungan industri rokok dan para konsumen tetap terpacu membeli rokok legal. Selain berharap tarif CHT tidak naik, Gappri juga meminta agar harga jual eceran (HJE) rokok tidak berubah serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12%.

“Dengan menjaga tarif CHT, HJE, serta PPN, hal ini tentu akan membantu pemulihan iklim industri rokok legal dengan harapan produksi dapat meningkat dan pasti target penerimaan CHT dapat tercapai,” ungkap Henry.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachyudi juga menyambut baik pernyataan pemerintah yang tidak jadi menyesuaikan tarif CHT.

Walau begitu, Gaprindo tetap waspada. Sebab, pada 2019 lalu pemerintah juga tidak menaikkan tarif CHT dan HJE, namun tarif tersebut justru naik lebih signifikan pada tahun berikutnya. Alhasil, Gaprindo masih akan terus memantau perkembangan arah kebijakan pemerintah terhadap industri rokok.

“Dalam kurun waktu ini, kami masih mendapat tekanan yang sangat berat dari kebijakan non fiskal yang sangat berpotensi mematikan rokok legal dan menyuburkan rokok ilegal,” terang dia, Selasa (24/9).

Sebagai contoh, sentimen negatif membayangi industri rokok sejak Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Kesehatan terbit pada akhir Juli lalu. Regulasi ini membatasi ruang gerak produsen rokok dalam memasarkan produknya. Salah satunya adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satu pendidikan dan tempat bermain anak.

Benny pun menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, produksi dan kontribusi penjualan rokok legal konsisten mengalami penurunan. Berdasarkan data olahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, produksi rokok nasional dalam 5 tahun terakhir berkurang 10,57% dari 355,84 miliar batang pada 2019 menjadi 318,21 miliar batang pada 2023.

Khusus Sigaret Putih Mesin (SPM) yang berada di bawah naungan Gaprindo, produksinya menyusut 35,74% dari 15,22 miliar batang pada 2019 menjadi 9,78 miliar batang pada 2023.

Lantas, Gaprindo terus meminta adanya keberimbangan kebijakan fiskal dan nonfiskal dalam pengaturan kebijakan rokok legal di Indonesia.

Search