Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS menaikan ongkos produksi hingga tiga persen. Pasalnya, sebagian besar bahan baku dan ingredients produk pangan di Indonesia masih diimpor. Pelemahan rupiah sangat berdampak kepada produsen produk makanan yang masih berskala kecil dan menengah. Produsen dari UMKM tidak bisa menyetok bahan baku dalam jumlah besar, sehingga harus mengeluarkan biaya mengikuti kenaikan harga pangan yang diimpor. Kalau kurs terus naik, otomatis harga bahan baku juga naik. Mereka pasti tidak kuat dan strateginya ada yang mengurangi ukuran jual. Adhi mengatakan bagi industri besar, dampak dari pelemahan rupiah bisa diminimalisir karena mampu menyetok ingredients dan bahan baku dalam jumlah besar. Adhi menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah juga menambah biaya logistik. Dia mengatakan banyak produsen yang mengeluh karena mahalnya biaya logistik dalam beberapa bulan terakhir. Untuk mengakalinya, para produsen menyetok ingredients makanan dalam jumlah besar.
Dia mengatakan, dalam produksi produk makanan, ingredients seperti pengawet, dan zat lainnya masih 100 persen impor. Biaya logistik itu cukup berat karena beberapa negara naik tiga kali lipat dan sulit mendapatkan kontainer. Secara otomatis industri itu harus menambah inventorinya. Kalau dulu cukup stok dua minggu, sekarang harus satu bulan, bahkan ada yang menyetok ingredients hingga dua bulan stok,” katanya. Adhi berharap agar pemerintah bisa mengendalikan nilai tukar rupiah agar tidak melebihi Rp 16.500 per US dollar. “Jika melebihi angka itu, dampaknya akan sangat besar terhadap produksi produk pangan dalam negeri,” ujarnya.