Ekonom Senior Faisal Basri meminta pemerintah untuk menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan. Pasalnya, kenaikan tarif PPN tersebut menurutnya akan berdampak dan membebani masyarakat banyak. Kenaikan PPN kata Faisal memang merupakan strategi yang paling mudah bagi pemerintah untuk mengerek penerimaan pajak. “Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar, karena PPN paling gampang,” kata Faisal saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (10/7/2024).
Di sisi lain, Faisal menilai pemerintah seharusnya lebih mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh), khususnya PPh badan. Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan banyak insentif perpajakan bagi dunia usaha atau korporasi dalam rangka menarik investasi ke dalam negeri. “Jadi ya tinggal mana yang mau diutamakan, itu demi investasi, memberikan fasilitas yang namanya tax holiday, super tax deduction, segala macam,” tuturnya. Bahkan, Faisal juga menyoroti insentif atau subsidi yang diberikan pemerintah untuk pembelian mobil listrik, sedangkan masyarakat banyak dibebankan dengan kenaikan tarif PPN. “PPN yang mengenai seluruh rakyat dinaikkan, rasa keadilannya di mana? Tapi, demi investasi semua itu, makin gelap mata,” kata Faisal.
Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa keputusan menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 akan diserahkan kepada pemerintahan mendatang. “Mengenai [kenaikan tarif] PPN, kami serahkan pada pemerintahan baru,” katanya. Sebagaimana diketahui, berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ditetapkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Sementara itu, tarif PPN tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.