Pelaku usaha pertekstilan menagih langkah heroik pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil dan pertekstilan (TPT) dari ancaman penutupan pabrik hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Teranyar, Kementerian Perindustrian mencatat terdapat 6 perusahaan gulung tikar dan 11.000 pekerja tekstil kena PHK. Kemenperin menyebut kondisi tersebut terjadi lantaran relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024. Kebijakan tata kelola importasi tersebut mempermudah barang jadi dari luar negeri memasuki pasar domestik. Hal ini dinilai merugikan industri nasional karena negara lain melakukan restriksi perdagangan, sementara Indonesia membuka akses masuk barang impor. Belum lagi impor produk tekstil ilegal yang tak terbendung dan membanjiri pasar dalan negeri. Daya saing produk lokal semakin tersudutkan. Alih-alih langkah tegas, pemerintah melalui antar kementerian malah terlihat saling tunjuk kesalahan.
Hal ini pun membuat kalangan produsen tekstil dalam negeri keheranan. Pelaku usaha meminta beberapa kementerian untuk menghentikan perseteruan terkait polemik kebijakan importasi. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan pemerintah semestinya fokus menyelesaikan permasalahan utama yang menjadi penyebab PHK dan penutupan pabrik. Terkait impor ilegal, Redma untuk kesekian kalinya meminta pemerintah untuk memperbaiki kinerja buruk Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang justru menghiraukan modus impor borongan, pelarian HS, hingga under inovoicing yang terjadi secara bebas. Alhasil, barang impor murah banyak membanjiri pasar domestik. Untuk itu, Redma menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani menutupi kinerja buruk Bea Cukai yang berada dalam kewenangannya. Dia melihat, Sri Mulyani hanya berputar-putar mencari alasan industri tekstil terpuruk.
Di sisi lain, pihaknya melihat itikad baik dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk mengendalikan impor tekstil dan pakaian jadi melalui sejumlah kebijakan. Meskipun, keduanya juga seringkali terlibat lempar tunjuk kesalahan. Redma mengapresiasi dan berharap agar Permendag 8/2024 dapat dikembalikan ke aturan sebelumnya seperti Permendag 36/2023 dan menerapkan Permenperin 5/2024 terkait Pertimbangan Teknis (Pertek). “Kami sangat paham bahwa sejak dikeluarkannya kedua aturan ini, para importir dan oknum rekanannya di Bea Cukai tidak senang dan membuat berbagai dinamika hingga akhirnya pemerintah terpaksa mengeluarkan aturan relaksasi impor melalui Permendag 8/2024 karena tersudut,” ujarnya.