Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin blak-blakan soal penyebab mahalnya harga obat-obatan di Indonesia. Sebab musababnya yakni banyaknya inefisiensi distribusi. Bahkan menurut Budi, bila dibandingkan dengan Malaysia, harga obat di Indonesia terutama non-generik lebih mahal tiga hingga lima kali lipat. Kondisi ini yang menyebabkan biaya pengobatan untuk sejumlah penanganan penyakit di Negeri Jiran tersebut cukup terjangkau. “Bahwa perbedaan harga obat itu 3 kali, 5 kali dibandingkan dengan di Malaysia misalnya. 300 persen kan, 500 persen,” kata Budi di Jakarta dikutip dari Antara, Minggu (7/7/2024).
Budi mengakui, pajak juga berkontribusi pada harga produk farmasi, namun sebenarnya persentase tidak sesignifikan tata niaganya. Faktor terbesar tetaplah pada inefisiensi perdagangan. “Pajak kan gampangnya paling berapa, pajak kan 20 persen, 30 persen, nggak mungkin, bagaimana menjelaskan bedanya 300 persen, 500 persen. Sesudah kita lihat ada itu tadi, inefisiensi dalam perdagangannya, jual belinya, banyaklah masalah tata kelola, pembeliannya,” ujar Budi.
Mantan Dirut Bank Mandiri itu menyebut, masalah mahalnya harga obat-obatan di Tanah Air bisa diatasi dengan transparansi dalam distribusinya maupun pengadaannya. Selain harga obat-obatan, masyarakat di Indonesia juga harus membayar lebih mahal untuk alat-alat kesehatan (alkes). Sementara itu, pengenaan bea untuk komponen alat kesehatan ataupun biaya-biaya tak terduga membuat industri kesehatan Indonesia sulit bersaing dengan produk impor. Mahalnya biaya layanan kesehatan juga secara tidak langsung ikut membebani keuangan negara. Pasalnya, nyaris semua layanan kesehatan di Tanah Air saat ini terlayani BPJS Kesehatan. Budi menyatakan bakal memangkas tata perdagangan obat dan alkes di Indonesia. Sebab, panjangnya rantai perdagangan obat dan alkes selama ini membuat harga obat dan alkes menjadi mahal karena menimbulkan peningkatan harga yang tidak perlu.