Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengungkapkan, secara statistik, kegagalan calon tunggal sangat kecil. Bagi kandidat akan lebih menguntungkan meski bersaing dengan kotak kosong. Sementara di sisi lain, partai politik atau gabungan partai politik pendukung semakin mampu mendeteksi potensi kemenangan atau kekalahan. Potensi ini terjadi karena sistem kepartaian yang belum sempurna. Sistem rekrutmen partai juga bersifat pragmatis. Banyak di antara partai politik mengunci calon-calon elektabilitas tinggi dan punya kemampuan finansial yang tinggi.
Tren peningkatan calon tunggal ini juga dapat menjadi persoalan karena masyarakat tidak dapat menemukan pilihan-pilihan terbaik untuk calon pemimpin. Padahal, kontestasi dan kompetisi merupakan syarat mutlak dari demokrasi. Apabila dua unsur itu tak terpenuhi, berarti demokrasi yang sedang terbangun tak terkonsolidasi, tak substantif, dan hanya prosedural.
Pembina Perludem, Titi Anggraini, menambahkan keberadaan calon tunggal ini punya dampak negatif, yaitu memunculkan potensi penyimpangan kebijakan. Keberadaan calon tunggal akan melemahkan fungsi kontrol legislatif ke eksekutif di tingkat daerah. Dampak paling buruk lainnya adalah berpengaruh ke demokrasi lokal karena tidak ada kompetisi, persaingan, dan partisipasi masyarakat.