Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menduga sejumlah pasal yang dinilai ‘antidemokrasi’ di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena rezim penguasa membutuhkan tameng. “Saya menduga bahwa keberadaan pasal antidemokrasi yang masih dipertahankan oleh pemerintah hari ini merupakan bagian bahwa pemerintah itu sadar bahwa kinerjanya itu buruk,” ujar Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin dalam konferensi pers Aliansi Masyarakat Sipil desak penghapusan pasal bermasalah dalam RKUHP secara daring, Minggu (20/11).
Zainal juga menegaskan pihaknya mengkritisi masih bercokolnya pasal-pasal yang dinilai berpotensi melakukan penyempitan ruang demokrasi dalam RKUHP terbaru yakni pasal 218, 219, dan 240. Mereka menilai keberadaan pasal bermasalah itu membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah abai terhadap masukan masyarakat sipil.
Diberitakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyerahkan draf RKHUP ke Komisi III DPR pada Rabu (9/11) lalu. Rencananya, Komisi III DPR bakal mengambil keputusan tingkat I untuk RKUHP pada 22 November 2022, tetapi rencana tersebut batal. Anggota Komisi III DPR Taufik Basari atau Tobas mengatakan pemerintah memutuskan batal menggelar rapat pembahasan RKUHP bersama Komisi III DPR pada 21-22 November 2022. “Rapat pembahasan RKUHP 21-22 November ditunda,” kata Tobas lewat pesan singkat, Minggu (20/11). Namun, Tobas tidak menjelaskan alasan pemerintah membatalkan rapat tersebut.