Pasukan gabungan dari kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan TNI merengsek masuk Pulau Rempang. Mereka berniat memasang patok pembatas dan pengukuran lahan untuk Rempang Eco City. Proyek itu merupakan proyek strategis nasional yang dikelola oleh Badan Pengusahaan ata BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Rencana pemasangan patok tata batas itu ditolak oleh masyarakat. Penolakan ini membuat bentrokan pecah. Pasukan gabungan berupaya membubarkan blokade dengan melontarkan gas air mata ke kerumunan masyarakat. Bahkan, dilansir dari Koran Tempo, peluru gas air mata mengarah ke Sekolah Dasar Negeri 024 Batam dan Sekolah Menengah Pertama 22 Batam yang berada di tepi Jalan Trans Barelang tempat bentrokan terjadi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melayangkan surat untuk tidak melakukan intimidasi, kekerasan, dan tindakan lain kepada Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Panglima Komando Daerah Militer 1 Bukit Barisan, dan Kepala BP Batam. Ketua Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur juga mengecam tindakan represif aparat. Menurutnya, pemerintah harusnya membela warga Rempang yang melakukan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, bukan membela investasi. Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau Komisaris Besar Pandra Arsyad mengatakan bahwa memang ada penangkapan terhadap delapan warga yang dijadikan tersangka. Delapan warga tersebut merupakan pelaku perlawanan terhadap aparat.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud Md menyatakan bahwa warga di Pulau Rempang memang harus direlokasi. Hal itu dilakukan karena pemerintah telah menyerahkan lahan tersebut untuk pengembangan swasta. Meskipun begitu, Mahfud Md menyarankan agar proses pengosongan lahan di Pulau Rempang itu harus lebih humanis dan jangan melakukan kekerasan. “Kecuali dalam kondisi yang sudah gawat,” katanya.