Polemik mengenai tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer atau Bharada E mengundang perdebatan panjang. Ini berangkat dari pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebut Bharada E tak bisa menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerjasama dengan penegak hukum. Kejagung beralasan bahwa Bharada E tak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator karena notabene sebagai pelaku utama pembunuhan berencana. Pernyataan tersebut pun dibantah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bahkan, LPSK mendesak Kejagung harus membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di sisi lain, Kejagung dinilai memakai kacamata kuda, yang artinya menyampaikan pernyataan tanpa melihat secara seksama terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Kejagung menegaskan bahwa Bharada E tidak bisa menjadi justice collaborator karena statusnya sebagai pelaku utama pembunuhan berencana. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyebut Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur justice collaborator terhadap kasus pembunuhan berencana. Ketut menjelaskan, bidang tindak pidana tertentu yang diatur terkait justice collaborator mencakup, tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi.