Sejak awal tahun ini hingga 19 Juni 2024, rupiah telah terseok dan mengalami pelemahan sebanyak 5,92 persen. Gejolak ekonomi global memberikan dampak besar terhadap ketahanan rupiah. Pengamat ekonomi Yusuf Wibisono berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang didominasi oleh faktor eksternal. Kendati demikian, faktor internal berupa ketidakpastian arah kebijakan fiskal juga menjadi faktor yang memengaruhi pelemahan mata uang Garuda.
Yusuf berpendapat, selayaknya pemerintah dan Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah berbasis kekuatan fundamental perekonomian Indonesia. Hal itu yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik yang beban mahalnya harus ditanggung seluruh negeri. Yusuf menuturkan, sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah, menurutnya, merupakan anomali karena hingga Mei 2024 Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik.
Untuk stabilitas rupiah ke depan, alih-alih memperkenalkan dan bergantung ke instrumen baru seperti SVBI atau menaikkan suku bunga acuan, menurut Yusuf, sebaiknya BI lebih mendorong pelaksanaan kewajiban repatriasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA. Menurutnya, jika pelaksanaan kewajiban repatriasi dan konversi DHE berjalan efektif, penguatan rupiah akan signifikan. Intervensi dolar AS senilai 1—2 miliar saja di pasar valas sudah akan menarik rupiah ke kisaran Rp 16.000 per dolar AS.