Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menilai penetapan revisi Undang-Undang TNI menjadi RUU usul inisiatif DPR RI bukan hanya langkah yang tergesa-gesa dan cenderung memaksakan, tapi menunjukkan DPR tidak memiliki komitmen untuk menjaga capaian reformasi TNI. Apalagi, kata Gufron, pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik sehingga jauh dari kepentingan publik yang lebih luas dan dikhawatirkan sarat dengan transaksi politik kekuasaan.
Berdasarkan draft RUU TNI versi Baleg DPR RI, Imparsial memandang ada dua usulan perubahan yang problematik. Yang pertama, kata Gufron, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI. Dengan kata lain, Gufron menilai Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan kata lain, Gufron menyebut usulan perubahan tersebut tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara.
Gufron mengatakan penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip pengaturan militer di negara demokrasi yang menuntut adanya pemisahan antara domain sipil dan domain militer. Di negara demokrasi, Gufron menekankan seharusnya fungsi dan tugas utama militer difokuskan sebagai alat pertahanan negara.