Penantian panjang terkait sistem pemilu legislatif (pileg) yang diterapkan di Indonesia akhirnya menemukan jawabannya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Kamis (15/6/2023). Majelis hakim memutuskan tak mengganti sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan untuk pileg sebagaimana diatur UU Pemilu. Putusan yang mengadili permohonan 6 warga negara pasa 14 November 2022 ini, dua di antaranya adalah kader PDI-P dan Nasdem, dipuji sejumlah pihak sebagai putusan yang komprehensif serta memperkaya khazanah kepemiluan dan ketatanegaraan.
Pujian ini datang, misalnya, dari PDI-P melalui perwakilannya Arteria Dahlan yang sebetulnya mendukung penerapan sistem proporsional daftar calon tertutup. Pujian sejenis juga meluncur dari mulut eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang justru dilaporkan MK ke organisasi advokat karena menyebar isu tak benar soal putusan perkara ini ketika majelis hakim belum menyusun putusan.
Dalam bagian pertimbangan putusan, Mahkamah membantah semua dalil pemohon, mulai dari anggapan bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Pancasila, menyuburkan politik uang dan korupsi, melemahkan partai politik, hingga menyulitkan keterwakilan perempuan. Menurut MK, masalah-masalah di atas bukan secara utama disebabkan oleh penerapan jenis sistem pemilu tertentu. Yang menarik dan paling penting, MK membantah dalil bahwa penerapan sistem proporsional terbuka di mana pemilih mencoblos langsung caleg pilihan mereka di surat suara, dengan argumentasi yang amat komprehensif. MK menegaskan bahwa konstitusi Indonesia tidak pernah mengatur jenis sistem pileg.