Pukat UGM Kritik Aturan Remisi dan Bebas Bersyarat untuk Koruptor

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM) Zaenur Rohman memandang pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Setya Novanto telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh negara. Pada kesempatan itu, Zaenur juga mengkritik aturan ketat remisi untuk koruptor yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 2021 silam.

Setya Novanto alias Setnov adalah terpidana kasus korupsi KTP-elektronik (e-KTP) yang dinyatakan bebas bersyarat usai Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setnov. Zaenur mengatakan, pembebasan bersyarat Setnov ini memang tidak ada salahnya bila dilihat dari sisi aturan. Akan tetap, Pukat UGM dalam hal ini justru mempersoalkan beleid yang jadi dasar pemberian bebas bersyarat itu. Syarat tambahan ini tertuang dalam PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dulu, katanya, aturan tersebut biasa dikenal dengan julukan ‘PP aturan ketat remisi koruptor’. Namun, pada Oktober 2021 lalu Mahkamah Agung (MA) justru mencabut syarat ketat remisi yang tertuang pada pasal-pasal di PP 99 Tahun 2012 tersebut.

Pukat UGM termasuk golongan yang tak sepakat ketika PP 99/2012 itu dicabut MA pada 2021 silam. Menurut Zaenur dkk, itu adalah berkah bagi koruptor karena dampaknya adalah menghilangkan efek jera. Idealnya, lanjut Zaenur, penjatuhan hukuman pidana bagi koruptor sepenuhnya kewenangan hakim. Panjang pendeknya sanksi pidana yang dijalani harus sesuai dengan putusan sang pengadil. Zaenur menambahkan, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kewenangan memberikan remisi atau pembebasan bersyarat oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).

Search