Pemerintah memandang, perempuan dan anak menjadi kelompok rentan menjadi korban dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pernyataan itu dilontarkan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO, Kementerian PPPA, Prijadi Santoso. Menurut Prijadi, kerentanan perempuan dan anak dalam isu ini tetap bertahan karena adanya ketidaksetaraan gender. Perempuan dan anak perempuan memiliki akses terbatas terhadap sumber daya penting seperti informasi, pendidikan, dan kesempatan kerja.
Prijadi Santoso mengatakan bahwa kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya keterampilan membuat masyarakat sulit mendapatkan penghasilan. “Kemiskinan merupakan salah satu risiko utama migrasi dan TPPO,” ujar dia. Fenomena ini semakin diperparah dengan menjamurnya budaya konsumtif dan serba instan untuk memperoleh uang. Meskipun menggunakan cara-cara yang berbahaya seperti kasus perdagangan orang ini.
Prijadi mengatakan, kompleksitas dalam kasus TPPO membuat pemerintah Indonesia menghadapi banyak tantangan. “Banyaknya jumlah korban ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara asal, negara tujuan, dan juga negara transit TPPO,” kata Prijadi Santoso. Sementara itu, seorang penyintas perdagangan orang, Maizidah Salas menilai minimnya informasi menjadi penyebab perempuan menjadi korban TPPO. Baik itu informasi dari pemerintah maupun informasi dari para agensi atau calo-calo pekerja migran.