Kebijakan kemasan polos untuk produk tembakau telah diwacanakan oleh pemerintah, namun dikhawatirkan akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Dengan diberlakukannya kemasan polos, konsumen akan mengalami kesulitan dalam membedakan produk legal dan ilegal, sehingga pengawasan di lapangan menjadi semakin kompleks. Berdasarkan pengalaman di Australia, Prancis, dan Inggris, kebijakan serupa tidak secara signifikan menurunkan angka perokok, melainkan memperbesar pasar rokok ilegal. Industri tembakau di Indonesia yang menyumbang Rp 216,9 triliun dari cukai pada 2024 pun terancam, karena produk ilegal yang tidak dibebani cukai akan lebih mudah beredar. Dikhawatirkan, produsen kecil dan menengah akan terhimpit karena kehilangan kekuatan diferensiasi melalui kemasan dan merek.
Berdasarkan data Indodata Research Center, pertumbuhan rokok ilegal mencapai 46,95% pada 2024 dengan potensi kerugian negara Rp 96 triliun per tahun. Jika kebijakan kemasan polos tetap diterapkan, diperkirakan pendapatan negara akan berkurang lebih dari Rp 300 triliun, serta terjadi kebocoran fiskal hingga Rp 106,6 triliun menurut INDEF. Wakil Menteri Hukum juga mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat berbenturan dengan perlindungan merek, sehingga harmonisasi peraturan perlu dijaga. Oleh karena itu, kebijakan diharapkan disusun secara transparan dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk menghindari dampak negatif yang luas. Dengan demikian, risiko mematikan industri tembakau legal dan memperkuat pasar ilegal perlu diantisipasi melalui pendekatan kebijakan yang lebih proporsional.