Setelah bonanza nikel, perhatian pemerintah mulai merambah ke berbagai komoditas tambang lain. Salah satunya tembaga dan bauksit yang memiliki nilai strategis sebagai produk penopang ekosistem baterai dan transisi energi. Ini mengingat, pada 2040 diperkirakan Indonesia membutuhkan investasi Rp 97,8 triliun (6 miliar dolar Amerika Serikat/AS) untuk mendorong BESS (Battery Energy Storage System) dengan kapasitas total 32 gigawatt jam (GWh).
Melihat potensi yang besar, berbagai aturan dirilis, pembangunan smelter digenjot, ekspor bijih mentah dilarang. Harapannya, hilirisasi menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) yang memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia agar dapat sejajar dengan negara-negara industri maju.
Mencermati situasi hilirisasi tembaga dan bauksit, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menerbitkan laporan berjudul “Nexus Ambisi Nilai Tambah dan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga Bauksit di Indonesia”. Laporan ini merespon wacana pembukaan kembali izin ekspor konsentrat, sekaligus tantangan lingkungan, dan pendanaan kawasan hilirisasi dua komoditas strategis tersebut.