Penerapan KUHP Baru Dinilai Perlu Perubahan Pola Pikir

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej gencar menyebarluaskan pemahaman mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru ke berbagai daerah Indonesia. Sebab ia mengakui perlu perubahan pola pikir masyarakat dalam penerapan KUHP Baru. Prof Eddy mengamati perilaku masyarakat Indonesia ketika berhadapan dengan hukum sebagai korban. Pada saat itu, masyarakat cenderung mendukung “balas dendam” agar pelaku dihukum berat.

Padahal, menurut Prof Eddy, pola pikir seperti itu merupakan paradigma lama hukum.  “Artinya kita semua kedepankan pidana sebagai sarana balas dendam, hukum balas dendam, berdasarkan keadilan retributif,” lanjut Prof Eddy. Prof Eddy berprinsip bahwa semangat KUHP Baru menempatkan pemidanaan sebagai upaya terakhir merupakan jalan terbaik. Adapun Pemerintah punya waktu tiga tahun untuk mensosialisasikan KUHP Baru sebelum resmi berlaku. 

Prof Eddy juga mengungkapkan perkembangan hukum modern yang patut diterapkan di Tanah Air. Ia meyakini hukum pidana kini mesti memberi porsi lebih luas bagi pemulihan korban. Diketahui, perubahan paradigma hukum modern yang berlaku universal difasilitasi dalam KUHP Baru. Hukum pidana kini dipandang lebih luas tak sekedar sebagai sarana balas dendam atau keadilan retributif karena mengarah pada orientasi keadilan korektif, restoratif, rehabilitatif. Keadilan korektif menekankan pelaku dalam konteks ini dikenakan pidana untuk koreksi kesalahan atas perlakuannya. Sedangkan restorative justice ditujukan kepada korban untuk memulihkan keadaan. Indonesia akhirnya memiliki KUHP sendiri. Pengesahan beleid ini dilakukan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (6/12/2022). Ini merupakan momentum bersejarah bagi dunia hukum di Indonesia.

Search