Pemerintah Tidak Minta Maaf atas Pelanggaran HAM Berat, Amnesty International: Kejahatan Bisa Terulang

Amnesty International Indonesia menyesalkan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Mahfud Md yang menyatakan pemerintah tidak meminta maaf kepada masyarakat atas pelanggaran HAM berat di masa lalu. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, permintaan maaf seperti di negara-negara lain menjadi salah satu keputusan politik negara untuk menarik batas pemisah masa lalu dan kini. “Permintaan maaf adalah salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM berat atas penderitaan yang mereka tanggung dan alami,” kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 3 Mei 2023.

Usman Hamid memberi contoh sikap meminta maaf kepada korban yang dilakukan oleh Presiden Republik Cile Patricio Aylwin Azócar atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Kemudian, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd yang juga meminta maaf kepada masyarakat Aborigin dan Selat Torres, terutama generasi yang hilang (stolen generation), atas pemisahan paksa. Begitu pula, Raja Belanda Willem Alexander yang meminta maaf kepada masyarakat Indonesia karena menjadi korban kekejaman kolonial pemerintah kolonial masa lalu.

Menurut Usman Hamid, ketiadaan permintaan maaf berarti negara tidak mengakui adanya kesalahan. Kondisi itu membuka peluang pelanggaran HAM berat berpotensi terulang kembali. Satu sisi, kata Usman, pihaknya menghargai upaya pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu. Tetapi diingatkan juga, jangan sampai negara melupakan hal lain yang sama pentingnya, yaitu pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku, serta pelurusan sejarah. Menurut Usman, tanpa hal-hal itu dampaknya bukan hanya tidak terpenuhinya keadilan untuk korban beserta keluarganya. Namun juga menyebabkan mandeknya perbaikan sistem untuk mencegah pelanggaran HAM serupa di masa depan.

Search