Kebakaran, lebih-lebih di musim kemarau, dapat melanda bangunan, kawasan maupun infrastruktur apa pun. Termasuk tempat pemrosesan akhir [TPA] sampah, seperti yang dialami oleh TPA Sarimukti, di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, baru-baru ini. Kebakaran TPA sangat membahayakan lantaran mengeluarkan asap berbahaya dari hasil pembakaran berbagai macam bahan yang ada di kawasan TPA. Pasalnya, TPA-TPA sampah yang berada di negara kita selama ini menerima sampah-sampah yang tercampur. Beragam jenis sampah, termasuk sampah organik maupun sampah mudah terbakar seperti plastik dicampur menjadi satu dan langsung dibuang di TPA.
Keberadaan temperatur tinggi pada saat musim kemarau, dan gunungan-gunungan sampah yang terbentuk dari bahan-bahan yang mudah terbakar, menjadikan TPA senantiasa rentan dilanda kebakaran. Begitu ada bara api atau percikan api, si jago merah pun dapat segera membesar. Terkait penumpukan gas metana, dekomposisi anaerobik sampah menghasilkan gas metana dan panas. Tatkala gas metana ini bersentuhan dengan oksigen, bahan-bahan mudah terbakar di TPA dapat saja memantik api yang akhirnya menyulut kebakaran lebih besar.
Euan Nisbet, profesor ilmu bumi di Royal Holloway, Universitas London, sebagaimana dikutip Monika Mondal [2022] mengatakan bahwa metana dapat terbakar sendiri pada kondisi suhu yang sangat tinggi. Menurut Nisbet, di TPA sampah, di mana sebuah botol kaca — dengan efek kaca cembungnya — dibiarkan begitu saja, bahkan juga dapat menyebabkan sinar matahari memanasi tumpukan sampah lainnya sehingga akhirnya memicu percikan api.
Sementara itu, Digamber Chavan, seorang peneliti lingkungan yang melakukan penelitian mendalam ihwal TPA sejak tahun 2017, mengatakan bahwa tumpukan sampah lama di TPA dapat memicu kebakaran, dengan metana sebagai katalisnya. Menurut Chavan, sampah yang baru umumnya dapat terbakar pada suhu 280 derajat Celcius dan sampah lama dapat terbakar pada suhu 160-180 derajat Celcius.