Pedang Bermata Dua Dibalik Ganti Status Kementerian Jadi BP BUMN

Pemerintah memutuskan mengubah status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Badan Pengatur BUMN (BP BUMN), yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Keputusan ini memantik pro dan kontra. Sebab, perubahan ini tidak hanya soal kelembagaan, tetapi juga menyangkut masa depan tata kelola perusahaan pelat merah yang jumlahnya ratusan dan berperan strategis di berbagai sektor ekonomi.

Pengamat BUMN dari NEXT Indonesia Center Herry Gunawan sangat skeptis dengan perubahan status kementerian BUMN. Apalagi, ia melihat tidak ada urgensi membentuk BP BUMN. Sebaiknya, Kementerian BUMN sekalian dihilangkan saja. Ia juga mengingatkan bahwa sesuai UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025, perusahaan milik negara kini dikategorikan sebagai badan privat, bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan definisi baru itu, seharusnya BUMN tunduk pada regulasi umum seperti perusahaan swasta lain, misalnya aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI).

Pada lain pihak, pengamat BUMN Toto Pranoto memandang pembentukan BP BUMN justru sebagai langkah efisiensi. Sebab, Badan dinilai akan lebih fokus dalam menjalankan penugasannya. Toto menekankan, BP BUMN harus mampu menjalankan fungsi vital, mulai dari penugasan pelayanan publik (PSO), privatisasi, pembubaran, hingga pengaturan tata kelola. Termasuk fungsi RUPS untuk menelaah rencana kerja Danantara, itu harus dilakukan dengan formula yang tepat. Namun, Toto mengingatkan keberhasilan BP BUMN untuk perbaikan pada kelola seluruh perseroan sangat bergantung pada figur pengisi lembaga tersebut. Ia berharap pejabat yang ditunjuk betul-betul kompeten.

Search