Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Hariyono menjelaskan terdapat faktor yang saling berkaitan yang membuat seseorang terpengaruh ideologi terorisme. Di antaranya tingkat pendidikan rendah, merasa termarginalisasi, dan berujung pada ketidakpuasan. Sehingga mudah terprovokasi dengan ujaran-ujaran kebencian. Terlebih doktrin yang dibungkus dengan ajaran agama yang keliru kerap dikaitkan.
Guru Besar Universitas Negeri Malang itu menegaskan, Pancasila tidak bisa dipertentangkan dengan kitab suci maupun sebaliknya. Guna mengantisipasi ideologi dan gerakan terorisme, di samping harus memiliki wawasan yang luas, penguasaan teknologi juga sangat dibutuhkan guna menangkal proxy war yang menyasar pangkalan kontak antar warga negaranya, bukan pangkalan militernya. Sebab saat ini seseorang bisa menjadi teroris tanpa ada gurunya, melainkan cukup melalui media sosial.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar menjelaskan ideologi terorisme tidak mengajarkan untuk mencintai bangsa, melainkan mengajarkan untuk membenci negara sendiri dan konstitusi. Kelompok radikalisme menempatkan pemerintah sebagai kelompok yang wajib diperangi. Untuk itu, Boy Rafli Amar mengungkapkan, diperlukan narasi-narasi untuk membangun semangat bangsa yang memiliki jati diri dan pilar kebangsaan.