Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perluasan subjek pelaku tindak pidana politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). MK berpendapat ketiadaan pembatasan dapat mengkriminalisasi setiap orang dan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Dalam gugatan tersebut, para pemohon yang merupakan akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menggugat Pasal 523 UU Pemilu yang mengatur subjek pidana politik uang hanya sebatas ‘pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye’. Menurut mereka, pengaturan itu terlalu sempit sehingga memberikan perlindungan untuk kalangan relawan dan/atau simpatisan yang tidak terdaftar sebagai pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye di KPU, untuk melakukan politik uang. Dengan demikian, pemohon menginginkan perluasan frasa subjek pelaku, dari frasa ‘setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye’, menjadi ‘setiap orang’.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan Suhartoyo, MK menilai perluasan terhadap subjek hukum atau pelaku tindak pidana politik uang dalam pemilu dapat berlaku bagi setiap orang, maka hal tersebut tidak tepat. Suhartoyo menegaskan hal itu tergolong sebagai politik pemidanaan (criminal policy). Terhadap hal demikian, ujar dia, MK dalam beberapa putusannya selalu konsisten dengan pendiriannya bahwa berkaitan dengan hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.