Pada awal 1900-an Ricciotto Canudo, teoritikus seni dan penyair kelahiran Italia, memasukkan film sebagai karya seni ketujuh. Walau di urutan bawah, namun Canudo menganggap film sebagai paket seni yang lengkap. Dalam film, termuat berbagai jenis seni lainnya yaitu lukisan, musik, arsitektur, puisi, pahatan, dan tarian. Teknologi perekaman gambar masih sangat baru saat itu. Filmnya juga masih hitam putih “berpasir” dan bisu. Tapi itu sudah membuat Canudo terpukau. Saya rasa jika masih hidup sekarang, Canudo pasti akan tercengang melihat kemajuan industri perfilman saat ini. Film-film sudah seperti prasmanan. Berbagai judul tersaji lengkap di meja, tinggal dipilih sesuai selera. Film mudah dinikmati dan kita juga gampang larut di dalamnya. Sedih, tertawa, atau takut bisa tercipta karena film. Seseorang bisa menemukan dunianya sendiri dalam film, ada rasa nyaman. Film menjadi eskapisme dari padatnya jadwal sekolah, sibuknya pekerjaan kita, atau penatnya bertahan dari pandemi covid yang mendera 2 tahun terakhir ini.
Film ibarat dua sisi mata uang. Bisa berdampak positif dan negatif. Film bisa memberikan edukasi kepada kita. Melalui film kita bisa menjelajahi tempat-tempat nun jauh, mencermati kebudayaan yang luar biasa, atau memahami nilai-nilai kearifan di daerah lain. Film menimbulkan rasa pemahaman akan perbedaan, memunculkan empati dan toleransi bahwa tidak semua orang sama. Film jugalah yang mendorong imajinasi dan kreativitas. Melalui film, impian dan cita-cita seseorang bisa muncul. Film tentang kemegahan negara-negara di dunia misalnya, seseorang akan bekerja keras untuk bisa menuju ke sana. Dengan daya pengaruhnya yang intrusif, film bisa mempengaruhi perilaku, apalagi terhadap anak-anak dan pemuda yang masih labil dan mencari jati diri. Apapun, memang itu salah satu tujuan dari film, memberi pengaruh, entah baik atau buruk.
Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara mengatakan, seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari keindahan, hingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan orang lain. Dengan kata lain, seni berasal dari jiwa yang indah, menghasilkan keindahan, dan menggerakkan tindakan yang indah pula. Jika film berdampak merusak, rasanya tidak layak disebut sebagai karya seni.
KPK menyadari pengaruh yang bisa dihasilkan oleh film dan memilih menjadikannya sebagai pembawa pesan kebenaran. Setiap tahunnya, sejak 2013, KPK menggelar Anti Corruption Film Festival (ACFFest), sebuah festival film pendek yang mengangkat tema antikorupsi. Dalam strategi trisula pemberantasan korupsi, media film ini menjadi runcing pada sula pencegahan dan pendidikan.
Selamat Hari Film Nasional, semoga dunia perfilman Indonesia semakin dapat menyajikan tayangan yang berkualitas dan mendidik, demi masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. Biasakan yang Benar, Jangan Benarkan yang Biasa.