Setelah membentuk UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dengan metode omnibus law, kembali DPR dan Pemerintah membahas RUU Kesehatan dengan menggunakan metode omnibus law. Sejumlah undang-undang akan dihapus dan direvisi dalam RUU Kesehatan ini. Seperti UU Cipta Kerja dan UU P2SK yang menuai penolakan, RUU Kesehatan ini pun dikritisi masyarakat.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menyatakan sikap menolak RUU Kesehatan ini dan mendesak RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas DPR RI. Tidak hanya soal substansi, masalah formil pun akan menjadi masalah. Masyarakat mengkhawatirkan RUU Kesehatan akan dibahas secara instan dan kurang melibatkan masyarakat, seperti yang terjadi di UU Cipta Kerja dan UU P2SK. Penolakan masyarakat akan direspon Pemerintah dengan kalimat, ”silahkan menjudicial review ke Mahkamah Konstitusi.”
Kaitannya dengan BPJS, dalam draft RUU Kesehatan, organ BPJS yaitu Direksi dan Dewan Pengawas (Dewas) di UU BPJS direvisi dengan signifikan. Hal ini berpotensi mengganggu pengelolaan jaminan sosial Kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. RUU Kesehatan memposisikan direksi dan Dewas BPJS di bawah menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri. Dari proses pengangkaran hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan menteri. Dikhawatirkan, status Badan Hukum Publik akan menjadi bias dan hambar ketika kepentingan publik yang diwakili direksi dan Dewas BPJS dikendalikan menteri, dan juga berpotensi dikendalikan Partai Politik (dimana menteri-menteri tersebut berasal).