Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden Dalam RUU KUHP, Bisa jadi Alat Kekuasaan?

Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah diserahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM kepada DPR. Sejumlah pasal siap dibahas untuk diresmikan menjadi KUHP. Pro kontra terus mengikuti selama pembahasan draft RKUHP ini, khususnya pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap lembaga negara, dan pemimpin negara.

Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho khawatir pembahasan RUU KUHP saat ini dijadikan alat kekuasaan secara berlebihan. Terlebih setelah MK pernah membatalkan pasal terkait penghinaan Presiden dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Hibnu menambahkan, untuk menjaga marwah memang pimpinan dan negara tidak patut untuk direndahkan. Maka, patut jika terdapat pasal yang mengatur agar tidak ada tindakan yang merendahkan martabat pimpinan negara atau lembaga negara.

Namun di satu sisi, Hibnu mengingatkan semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Sehingga presiden atau wakil presiden seharusnya membuat laporan secara sendiri jika mendapat hinaan atau tindakan. DPR, kata Hibnu juga harus intensif mensosialisasikan segala pasal yang saat ini masih dalam bentuk draft RKUHP. Lembaga legislatif juga diminta sinkronisasi pasal-pasal dengan aturan yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Search