Secara umum, komoditas pertanian di perdesaan bersifat musiman, mudah rusak, umur simpan pendek, kualitas dan volume produk bervariasi, serta memerlukan ruangan yang besar, tetapi nilainya rendah. Selain itu, setiap komoditas pertanian memiliki waktu tanam, pertumbuhan, panen, serta input produksi yang berbeda. Oleh karena itu, pascapanen memerlukan penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan yang efektif dan efisien, serta arus masuk dan keluar aliran produk perlu dikelola. Oleh karena itu, dibutuhkan ilmu manajemen logistik dalam rantai pasok pertanian diimplementasikan di perdesaan.
Indeks kinerja logistik Indonesia tahun 2023 adalah 3.00 (World Bank, 2013). Indeks ini turun 0,15 poin dibandingkan dengan tahun 2018. Tahun ini, Indonesia menempati urutan ke-63 dunia. Di antara negara ASEAN, kinerja logistik Indonesia berada di urutan kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Survei World Bank ini menunjukkan bahwa permasalahan logistik menjadi kendala dalam meningkatkan daya saing industri.
Sejatinya, pengelolaan logistik di perdesaan berbeda dengan di wilayah perkotaan. Hal ini disebabkan karena perbedaan budaya, standar hidup, dan cara berproduksi. Umumnya, aliran logistik perdesaan terdiri atas arus masuk input pertanian, arus keluar komoditas pertanian yang bersifat musiman, serta arus keluar masuk untuk barang-barang industri ringan. Saat ini masih banyak para petani yang mengalami kesulitan dalam menjual produk yang dihasilkan, juga masih terlihat kesenjangan sarana dan prasarana di desa serta kota. Pengadaan input pertanian hingga penanaman, pemanenan, dan transportasi produk dilakukan oleh smallholders dengan tingkat efisiensi rendah. Logistik di perdesaan masih didominasi oleh pengiriman produk jadi dari kota ke desa yang dipasarkan di minimarket. Akibatnya, daya saing produk perdesaan rendah. Penguatan logistik perdesaan dibutuhkan untuk mengintegrasikan perdesaan-perkotaan, meningkatkan perekonomian desa dan mengurangi angka kemiskinan desa.