Format kelembagaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menggabungkan seluruh tugas dan fungsi riset di kementerian dan lembaga (K/L) dinilai tidak berhasil. BRIN yang diharapkan dapat menyinergikan kelembagaan riset dan teknologi yang berujung pada peningkatan kinerja invensi dan inovasi dinilai tidak membuahkan hasil apa pun dalam dua tahun keberadaannya. Mantan sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Mulyanto, menilai proses konsolidasi yang menyeluruh tidak terjadi di BRIN. Menurut dia, yang muncul justru kondisi transisional yang berkepanjangan, baik dari aspek sumber daya manusia (SDM), organisasi, pendanaan dan anggaran riset, perencanaan program, peralatan dan ruang laboratorium, infrastruktur riset, aset, bahkan kursi dan ruang kerja yang kini menjadi co-working space.
Menurut Mulyanto, kondisi yang ada di BRIN saat ini sangat paradoks. Di satu sisi, peleburan kelembagaan iptek menyebabkan BRIN menjadi lembaga superbodi dan sentral, baik dari aspek SDM, anggaran riset, infrastruktur riset, maupun manajemen riset. Tapi, pada saat yang sama, malah terjadi penciutan anggaran riset di BRIN. Pada 2017, anggaran riset yang tersedia sebesar Rp 24,9 triliun atau 0,2 persen terhadap PDB, tapi kini anjlok menjadi Rp 6,5 triliun atau 0,03 persen terhadap PDB pada 2023.
Dari pagu tersebut, BRIN harus mengalokasikan 64 persennya untuk operasional yang berisi belanja gaji pegawai dan kebutuhan rutin, seperti utilitas berupa listrik, telepon, internet, air; alih daya untuk kebersihan, keamanan, pengemudi; BBM; kendaraan operasional; ATK; belanja berlangganan berupa jurnal, citra satelit untuk kebutuhan nasional; serta pemeliharaan fasilitas perkantoran.