Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menimbulkan kontroversi usai dibahas secara sembunyi-sembunyi DPR RI, dan diterima Menkopolhukam mewakili Pemerintah. Apalagi, pembahasan dilakukan Pemerintah dan DPR pada masa reses. Kini, satu demi satu mantan hakim-hakim MK mulai bersuara keras menyampaikan penolakan mereka. Hakim MK periode 2003-2020, I Dewa Gede Palguna mengatakan, pembahasan yang dilakukan diam-diam sudah pasti menimbulkan pertanyaan besar.
Bagi Palguna, dampak negatif dari revisi UU MK ini sudah sangat jelas. Misalnya, di Pasal 23 ayat 1 sudah diterangkan secara nyata kalau masa jabatan hakim konstitusi 10 tahun. Anehnya, malah dihadirkan ayat 2, 3, 4 yang bisa mengubah ketentuan itu. Maka itu, Palguna mengkritisi logika hukum yang dipakai pembentuk atau pengusul dari revisi UU MK tersebut. Ia berpendapat, jika ada ayat-ayat lain yang bisa mengubah ketentuan tegas soal masa jabatan hakim konstitusi, sejak awal buat apa dibuat ayat 1.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva mengatakan, revisi UU MK yang dilakukan diam-diam tidak cuma ancaman runtuhnya independensi MK. Tapi, merupakan ancaman serius terhadap eksistensi negara hukum itu sendiri. Ia menambahkan, konflik antara negara hukum demokratis dengan negara berdasar kekuasaan selalu terjadi ketegangan, bukan cuma di Indonesia. Ancaman ke fondasi negara hukum itu pintu masuknya rata-rata terkait rekrutmen masa jabatan hakim. Hamdan mengingatkan pembahasan Undang-Undang Dasar dulu yang menyebutkan secara limitatif dan rinci kewenangan MK demi menghindari diganggu oleh kekuasaan pembentuk UU. Maka itu, masa jabatan dan pengawasan jadi pintu lain mengganggu.