Upaya legalisasi ganja untuk keperluan medis kembali disorot setelah Kepala BNN Marthinus Hukom dan jajaran bertemu dengan Menteri HAM Natalius Pigai untuk membahas isu tersebut. Dalam pertemuan itu, legalisasi ganja medis dan tanaman kratom dibahas karena telah dikaitkan dengan hak asasi manusia oleh sejumlah kelompok. Namun, sikap tegas masih ditunjukkan oleh Kementerian HAM yang menolak legalisasi ganja selama tanaman tersebut masih dikategorikan sebagai narkotika golongan I dalam UU Narkotika. Penolakan itu ditegaskan kembali oleh Pigai dengan merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi. Pertemuan tersebut berlangsung tak lama setelah meninggalnya Pika Sasi Kirana, anak penderita cerebral palsy yang tak bisa mengakses ganja medis untuk meredakan sakitnya.
Di sisi lain, dukungan terhadap legalisasi ganja medis semakin menguat setelah Komisi PBB untuk Narkotika mengeluarkan ganja dari daftar zat paling berbahaya dalam Konvensi 1961. Keputusan tersebut didasarkan pada rekomendasi WHO yang menyatakan manfaat medis ganja, terutama untuk terapi epilepsi, pereda nyeri, dan pengobatan gejala kronis. Lembaga seperti ICJR menilai langkah PBB memberi ruang bagi Indonesia untuk meninjau kembali kebijakannya, terutama terkait riset dan regulasi. Regulasi yang memungkinkan pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis dinilai penting agar Indonesia tidak tertinggal dalam pengembangan ilmu dan pengobatan. ICJR pun mendorong pemerintah menerbitkan regulasi pendukung yang memungkinkan ganja medis digunakan secara sah.
Dalam negeri, desakan legalisasi ganja medis sudah berlangsung lebih dari satu dekade, dimotori oleh organisasi seperti Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Aksi damai dan kampanye edukatif rutin dilakukan, termasuk Global Marijuana March yang digelar tiap Mei di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pendiri LGN Dhira Narayana menekankan bahwa perjuangan ini merupakan bentuk solidaritas terhadap pasien dan keluarga yang membutuhkan akses pengobatan berbasis ganja medis. Selain itu, LGN juga menyerukan perubahan pendekatan hukum terhadap pengguna ganja dari pidana menjadi rehabilitasi. Namun, meski ganja memiliki senyawa kanabinoid yang dianggap aman dan tidak adiktif, perubahan kebijakan di Indonesia masih belum menunjukkan perkembangan signifikan.