Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Gubernur Riau Abdul Wahid diduga menerima uang Rp 2,25 miliar dari praktik pemerasan terhadap enam Kepala UPT Dinas PUPRPKPP Riau. Uang itu disebut sebagai “jatah preman” atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang nilainya melonjak dari Rp 71 miliar menjadi Rp 177 miliar.
Fenomena seperti ini bukan sekadar kebetulan atau nasib apes suatu provinsi. Ini adalah persoalan sistemik yang menahun di banyak pemerintah daerah di Indonesia. Sejak Pilkada langsung digelar tahun 2005, sudah 39 gubernur di Indonesia terjerat kasus korupsi. Angka ini menggambarkan betapa jabatan kepala daerah telah lama terperangkap dalam jebakan politik berbiaya tinggi. Ketika kekuasaan diperoleh melalui transaksi, kebijakan pemda menjadi alat pengembalian modal. Di titik inilah demokrasi lokal kehilangan maknanya: suara rakyat dikalahkan oleh logika investasi politik.
Demokrasi memang telah berjalan secara prosedural, tetapi masih rapuh secara substansial. Ketika sistem merit dan pengawasan tidak berjalan kuat, maka otonomi daerah berubah menjadi ruang bagi raja-raja kecil yang kebal nilai moral dan hukum. Penyakit lama ini tidak akan sembuh hanya dengan penangkapan. KPK boleh bekerja sekeras mungkin, tetapi tanpa reformasi sistem politik—terutama pembiayaan Pilkada—korupsi akan terus berulang dalam pola yang sama. Otonomi daerah semestinya menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan arena memperkaya diri.
