Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan bahwa penerapan e-voting atau sistem pemungutan suara berbasis digital perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemilu mendatang. Pemanfaatan teknologi ini dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang masih kerap terjadi dalam proses pemilu. “Ke depan, tidak ada pilihan lain. Pemilu kita harus mengadopsi teknologi. E-voting harus menjadi salah satu pertimbangan serius,” ungkap Saurlin P. Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, dalam konferensi pers peluncuran Kertas Kebijakan Perlindungan dan Pemenuhan HAM Petugas Pemilu 2025 yang berlangsung di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Januari 2025. Saurlin menilai, penggunaan teknologi dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), sekaligus mencegah beban kerja yang berlebihan. Hal ini sangat relevan mengingat adanya kasus kelelahan ekstrem yang mengakibatkan kematian sejumlah petugas KPPS pada pemilu 2019 dan 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Komnas HAM juga mengungkapkan empat poin utama hasil pemantauan mereka terhadap penyelenggaraan pemilu 2024. Pertama, beban kerja yang sangat berat dan durasi kerja yang panjang menjadi kendala serius bagi para petugas pemilu. Kedua, pelaksanaan pemilu serentak dengan lima jenis pemilihan meningkatkan tingkat kesiapan yang dibutuhkan. Ketiga, sistem proporsional terbuka memaksa petugas untuk bekerja lebih teliti dalam memastikan akurasi data. Keempat, penyelenggaraan pemilu lebih mengutamakan aspek logistik ketimbang kesejahteraan para petugas.
Dalam konteks pemilihan berbasis elektronik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat bahwa sedikitnya 27 kabupaten dan 1.752 desa di Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) menggunakan e-voting. Kendati demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI masih belum mengadopsi metode ini secara luas, dan pada pemilu 2024 masih memilih menggunakan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Andrari Grahitandaru, Ketua Tim Aplikasi E-Voting di BRIN, menjelaskan bahwa pengembangan e-voting berlandaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147/PUU-VII/2009. Meskipun Undang-Undang Pilkada telah mengakomodasi putusan tersebut, hal ini belum diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga implementasi e-voting dalam skala nasional masih menjadi tantangan.