Juru Bicara Komisi Yudisal (KY) Miko Ginting menyampaikan KY tengah mendalami putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perihal putusan penundaan Pemilu pada persidangan perdata Partai Prima 2 Maret 2023. Rencananya Komisi Yudisial akan memanggil ketiga Hakim PN Jakarta Pusat yaitu T. Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban. KY juga telah berkomunikasi bersama Mahkamah Agung dalam mencermati substansi putusan yang dibuat oleh para Hakim tersebut. Menurutnya, Putusan Pengadilan sudah seharusnya bersandar aspek demokratis, aspek aspirasi masyarakat secara sosiologis dan patuh pada Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda Pemilu 2024. Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum. Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada Kamis, 2 Maret 2023. Adapun Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan tersebut adalah T. Oyong, dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu. Selain penundaan, pengadilan juga menghukum KPU membayar ganti rugi materiil sebanyak Rp 500 juta. Pengadilan juga menyatakan bahwa penggugat, yakni Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi.
Adapun pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu 2024 dinilai aneh karena melampaui yurisdiksi. Menurut Feri, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dam Pasal 11 telah diatur yurisdiksi pengadilan negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH). Menurut aturan tersebut, jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri bakal melimpahkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena bukan yurisdiksinya. Menurut Feri, aturan ini sudah ada dari tahun 2019 dan telah menjadi tradisi di pengadilan negeri untuk melimpahkan perkara PMH ke PTUN. Jika ada pemohon yang nekat mengajukan PMH ke Pengadilan Negeri, maka menurut Feri, Pengadilan Negeri bakal menolaknya.