Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, ada 116 komoditas yang dihasilkan dari perhutanan sosial dengan luas mencapai 5,31 juta hektare dan melibatkan 1,1 juta kepala keluarga. “Data kami sudah ada 116 komoditas. Ini tentunya banyak komoditas yang besar, seperti kopi dan kayu, tapi banyak juga yang kecil,” kata Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK Catur Endah Prasetiani dalam diskusi pojok iklim di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Pada 2022, nilai transaksi ekonomi dari kelompok usaha perhutanan sosial mencapai Rp 118,69 miliar. Sebanyak tiga provinsi dengan nilai tukar ekonomi tertinggi adalah Sumatra Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. KLHK mengeklaim peningkatan kelas kelompok usaha perhutanan sosial menjadi platinum dan emas mampu memberikan sumbangan terhadap peningkatan nilai indeks desa membangun atau IDM di Solok, Sigi, Lombok Tengah, dan Karangasem.
Prasetiani menuturkan pengelolaan perhutanan sosial memerlukan sinergi dan kolaborasi berbagai pihak karena masyarakat yang mengelola kawasan hutan punya keterbatasan mulai dari sumber daya manusia, modal, hingga pasar. Apalagi sejak masuknya proses digital yang membuat pasar tidak lagi fisik melainkan telah menjadi pemasaran digital membuat perhutanan sosial perlu inovasi. Bahkan, offtaker kini lebih bebas berbisnis tidak hanya kayu dengan hanya pedagang kayu saja, tetapi pedagang lain juga boleh berbisnis kayu.