Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rahman, menilai keberhasilan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam memulihkan pidana pengganti Rp13,25 triliun dari kasus korupsi minyak sawit mentah (CPO) sebagai capaian besar dan langkah yang patut diapresiasi. Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan satu kasus tidak serta-merta menandakan perbaikan menyeluruh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Rahman menekankan, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya diukur dari besarnya aset yang berhasil dikembalikan negara, tetapi juga dari indikator yang diakui secara internasional. Ia juga menyoroti pentingnya memperhatikan sektor penegakan hukum sebagai barometer utama. Meski begitu, ia mengakui mekanisme pidana pengganti yang digunakan dalam kasus CPO masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Menurutnya, konsep kerugian perekonomian negara kerap dipersoalkan karena dianggap belum memiliki kepastian hukum.
Untuk itu, pihaknya mendorong agar negara segera membuat pedoman resmi mengenai cara menghitung kerugian perekonomian negara. “Saat ini belum ada panduan yang baku, sehingga hasil perhitungan bisa berbeda-beda antara BPK, BPKP, atau ahli lainnya. Negara perlu menetapkan pedoman itu secara jelas,” katanya. Ia menyarankan agar lembaga-lembaga seperti BPK, BPKP, KPK, kejaksaan, dan kepolisian duduk bersama menyusun formula yang seragam. “Kalau bisa diatur dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Harus jelas siapa yang dimaksud dengan kerugian perekonomian negara, siapa yang menghitung, dan bagaimana alat ukurnya,” ujarnya.