Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, yang selama ini sering dianggap kurang peduli terhadap isu politik, kini menunjukkan respons yang lebih aktif terhadap situasi nasional dengan cara komunikasi khas mereka. Ungkapan seperti “Kabur Aja Dulu” dan “Indonesia Gelap” merefleksikan kegelisahan yang semakin menguat di kalangan anak muda terhadap berbagai kondisi di dalam negeri. Berdasarkan tren pencarian di Google, penggunaan tagar #KaburAjaDulu mulai meningkat sejak awal Februari 2025, sementara #IndonesiaGelap telah muncul sejak akhir 2024, mengalami penurunan sesaat, dan kembali melonjak pada pertengahan Februari 2025. Fenomena ini bukan sekadar ekspresi individual, melainkan sebuah gerakan kolektif yang menandakan kekhawatiran mendalam terhadap berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan kebijakan yang mereka hadapi.
Ekspresi digital ini berkembang menjadi lebih dari sekadar bentuk keputusasaan, tetapi juga manifestasi dari rasa frustasi terhadap keterbatasan peluang di dalam negeri, baik dalam pendidikan, lapangan kerja, maupun kesejahteraan ekonomi. Banyak di antara mereka yang menggunakan tagar ini untuk mencari informasi terkait kesempatan studi dan pekerjaan di luar negeri, dengan dukungan diaspora yang membagikan pengalaman dan jalur yang dapat ditempuh untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, tidak semua pihak melihat fenomena ini dengan perspektif yang sama. Beberapa pemimpin nasional menilai gerakan ini sebagai bentuk ketidakpatuhan atau bahkan kurangnya nasionalisme, sementara yang lain mencoba merespons dengan cara yang lebih moderat, seperti menekankan pentingnya meningkatkan kapasitas diri sebelum merantau ke luar negeri.
Di sisi lain, gerakan “Indonesia Gelap” semakin menguat sebagai kontra-narasi terhadap optimisme pemerintah dalam visi “Indonesia Emas.” Isu-isu yang diangkat dalam kampanye ini berakar pada kebijakan ekonomi dan sosial, seperti efisiensi anggaran, alokasi dana untuk program makan bergizi gratis, serta polemik terkait RUU Minerba. Ketidaksepakatan ini memperlihatkan jurang pemisah antara harapan generasi muda dengan kebijakan yang diusung pemerintah, sekaligus mengindikasikan bahwa ada aspirasi yang belum sepenuhnya terakomodasi. Dalam perspektif yang lebih luas, suara mereka tidak selalu bertujuan untuk menentang pemerintah secara politis, tetapi lebih sebagai refleksi atas ketidakpastian masa depan yang mereka rasakan. Jika Indonesia ingin mempertahankan potensi generasi mudanya, maka tantangan ini perlu disikapi dengan kebijakan yang lebih konkret, bukan sekadar retorika yang membangun harapan tanpa realisasi nyata.