Di antara kota-kota dunia, Provinsi DKI Jakarta salah satu yang paling pepak dengan gedung-gedung bertingkat. Fenomena street canyon atau udara yang terperangkap di antara gedung-gedung di perkotaan membuat konsentrasi pencemaran udara akibat emisi kendaraan semakin tinggi. Berdasarkan data yang diinventarisasi oleh Bloomberg Philanthropies, DKI Jakarta, dan Vita Strategic, aktivitas transportasi menjadi penyumbang emisi udara terbesar yaitu sebesar 44 persen. Sementara 56 persen sisanya terbagi menjadi empat, yakni dari industri energi, industri rumahan, industri manufaktur, dan yang terkecil adalah kegiatan komersial di gedung-gedung.
Jakarta secara konsisten menempati peringkat di antara 10 kota paling tercemar secara global sejak Mei 2023. Menurut laporan data perusahaan teknologi kualitas udara Swiss IQAir, kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini mencatat tingkat polusi udara yang tidak sehat hampir setiap hari. Peringkat Jakarta pada Kamis pekan lalu lebih tinggi dari Beijing di Cina yang selama ini kerap memuncaki klasemen kota dengan polusi udara terburuk.
Sementara, Nafas Indonesia pernah mengungkapkan bahwa waktu dini hari merupakan polusi udara tertinggi. Padahal, pada waktu-waktu tersebut tidak banyak terjadi pergerakan kendaraan bermotor. Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan, hal ini menunjukkan faktor polusi udara bukan hanya masalah polutan yang diproduksi oleh kendaraan bermotor saja, melainkan juga dari debu partikuler. Menurutnya, hal ini terverifikasi data DLH (Dinas Lingkungan Hidup) DKI bahwa pada dini hari terjadi peningkatan PM2.5, terutama di musim-musim kemarau. Hal ini terkait dengan difat PM2.5 sebagai debu partikuler.