Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai praktik pengoplosan berasdapat merusak efektivitas kebijakan pangan nasional. Selain menciptakan distorsi pasar, praktik ini juga berpotensi membahayakan stabilitas sosial jika terus dibiarkan. “Ketika masyarakat menemukan bahwa beras yang mereka beli, bahkan dari program subsidi yang pernah dilakukan uji tidak sesuai mutu atau bobot, maka kepercayaan publik terhadap negara sebagai penyedia pangan akan runtuh,” kata Kepala Pusat Makroekonomi Indef, Rizal Taufiqurrahman.
Ia menegaskan, dalam jangka panjang, praktik seperti ini akan menciptakan ketidakstabilan harga dan memperbesar jurang antara regulasi dan kenyataan di pasar. Negara, menurut dia, harus hadir secara tegas dengan sistem pengawasan yang menutup celah penyimpangan, bukan hanya retorika. Rizal menjelaskan bahwa modus pengoplosan beras terus terjadi karena lemahnya pengawasan pada titik distribusi akhir, tidak adanya sistem pelacakan yang kredibel, serta longgarnya kontrol terhadap mitra distribusi Perum Bulog.
Rizal menyarankan agar pendekatan pemerintah diubah dari razia dan inspeksi dadakan menjadi pengawasan berbasis sistem yang terintegrasi dan forensik. Ia mendorong digitalisasi distribusi CBP, seperti penggunaan QR code atau barcode yang bisa dipantau publik. Selain itu, Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai perlu membentuk unit khusus untuk menangani pelanggaran dalam sektor pangan strategis.