Wacana penundaan pemilu ini mendapat respons publik yang beragam. Ada yang sepakat, ada pula yang menolak, namun hanya bermuara pada argumentasi politik dan ekonomi. Padahal, pemilu merupakan agenda kenegaraan yang fundamental. Maka, wacana ini seharusnya diposisikan dari perspektif hukum ketatanegaraan. Sehingga, penolakan dan kesepakatan atas wacana ini berkepastian hukum dan hukum menjadi pemutus akhir dari wacana pelik kenegaraan. Dalam hukum tata negara (HTN) kita tak terdapat peraturan (kekosongan hukum) yang mengatur soal penundaan pemilu, baik di level konstitusi (UUD 1945) maupun undang-undang (UU).
Karena pemilu merupakan agenda fundamental bernegara maka exit law yang disediakan HTN adalah melalui perubahan konstitusi (UUD). Menurut George Jellinek (1962), perubahan konstitusi bisa dilakukan melalui dua acara. Pertama, verfassungsanderung, dilakukan dengan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi. Kedua, verfassungs-wandelung, dilakukan tidak berdasarkan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi, melainkan melalui jalur non formal atau peristiwa luar biasa seperti, revolusi, kudeta (coup d’etat), konvensi dan keadaan darurat.
Mengubah konstitusi bisa dilakukan secara informal (verfas -sungs-wandelung) melalui dua acara. Pertama, melalui some primary forces (beberapa kekuatan yang bersifat primer), misalnya, salah satu kekuatan pendorongnya adalah negara dalam keadaan darurat pandemi Covid-19 dan berdasar pertimbangan obyektif keuangan negara terkonsentrasi untuk penanggulangan Covid-19 sehingga tak mampu membiayai pemilu. Kedua, melalui judicial interpretation (penafsiran konstitusi oleh pengadilan). Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki otoritas menafsirkan konstitusi sebagaimana diatur di Pasal 24 C UUD 1945. MK pernah menorehkan sejarah melalui putusannya menafsirkan teks UUD 1945 setara dengan mengubah UUD 1945.