Setiap tanggal 24 September, bangsa Indonesia memperingati “Hari Tani Nasional”. Tepat 65 tahun bukan angka yang muda lagi, peringatan ini bukan sekadar seremoni, tetapi momentum untuk menengok kembali sejarah panjang perjuangan petani dalam memperjuangkan hak atas tanah. Sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, cita-cita besar reforma agraria adalah mewujudkan keadilan sosial melalui pemerataan penguasaan tanah. Namun, setelah lebih dari enam dekade, cita-cita tersebut masih jauh dari harapan. Yang muncul justru paradoks: negara agraris dengan tanah subur, namun petani masih hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan konflik agraria yang tak kunjung reda.
Secara teori, keberadaan jutaan rumah tangga petani ini semestinya menjadi kekuatan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Namun kenyataannya banyak petani tetap hidup rentan; paradoks itu semakin jelas melihat praktik di lapangan: meski tanah luas dan subur, impor sejumlah komoditas pangan masih terjadi dan alih fungsi lahan pertanian terus berlangsung. Misalnya, pada awal 2025 Indonesia masih mencatat impor beras (volume menurun dibanding tahun sebelumnya tetapi masih terjadi di awal tahun).
Salah satu ironi terbesar dalam perjalanan reforma agraria adalah konflik agraria yang terus meningkat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2024 terjadi 295 letusan konflik agraria, naik 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Luas lahan yang terdampak mencapai 1,1 juta hektare dengan korban sekitar 67 ribu keluarga. Sektor perkebunan menjadi penyumbang terbesar konflik, khususnya perkebunan sawit. Infrastruktur juga menjadi penyebab utama, termasuk pembangunan jalan tol, bendungan, dan kawasan industri. Data KPA 2024 juga mencatat sekitar 93 ribu petani menjadi korban langsung konflik, baik melalui penggusuran, penganiayaan, maupun kriminalisasi.